Selasa, 22 Februari 2011

Harry Potter


Buku: The tales of beedle the bard
Judul: si penyihir dan kuali melompat

Pada suatu masa, hiduplah penyihir tua baik hati yang menggunakan sihirnya dengan murah hati dan bijaksana untuk menolong tetangganya. Bukannya menyombongkan sumber kekuatan sihir yang dia miliki. Si penyihir tua berpura-pura mengatakan bahwa semua ramuan, jimat dan obat penawar yang dia berikan muncul begitu saja dari kuali kecil yang dia sebut sebagai kuali keberuntungan. Bahkan dari tempat-tempat yang jauh, banyak orang datang kepadanya, membawa berbagai macam masalah. Dan si penyihir, dengan senang hati akan mengaduk kualinya, lalu membereskan masalah mereka. Penyihir yang dicintai banyak orang ini hidup bahagia sampai tua, lalu meninggal dunia.

Si penyihir mewariskan seluruh hartanya kepada satu-satunya anak laki-laki yang dia miliki. Tapi sifat si anak laki-laki berkebalikan dengan sifat ayahnya yang lemah lembut. Menurutnya, orang-orang yang tidak memiliki kekuatan sihir sama sekali tidak berharga. Hingga dulu mereka sering bertengkar karena kebiasaaan ayahnya menolong tetangga-tetangganya ini. Setelah ayahnya meninggal dunia, si anak laki-laki menemukan bungkusan kecil di dasar kuali ayahnya..dan namanya tertera di bungkusan tersebut. Dia membuka bungkusan itu, berharap memenmukan emas, tapi dia hanya menemukan sebuah sepatu, yang halus, tebal, berukuran kecil, dan bahkan hanya sebelah. Di dalamnya ada sepotong kertas, tertulis, “Anakku, harapan terbesarku adalah kau takkan pernah membutuhkan sepatu ini”. Anak itu memaki kepikunan ayahnya, melempar sepatu itu kembali ke dalam kuali dan memutuskan untuk menggunakan kuali itu sebagai tempat sampah di keesokan hari.

Malam itu juga seorang perempuan petani mengetuk pintu depan. “Cucu perempuanku terkena penyakit kutil merah, sir” katanya pada anak laki-laki si penyihir. “Biasanya ayahmu membuatkan ramuan khusus di kuali tua..” “pergi!” seru si anak lelaki. “Apa peduliku pada kutil cucumu yang nakal?” dan dia membanting pintu di hadapan perempuan tua itu. Saat itu juga terdengar suara berisik dari dapurnya. Si penyihir menyalakan tongkat sihirnya dan membuka pintu dapur. Dan disana, dia sangat takjub ketika melihat kuali tua milik ayahnya: tumbuh satu kaki perunggu di dasar kuali. Kuali itu melompat-lompat di tempat, di tengah-tengah dapur, membuat suara yang sangat berisik ketika kaki perunggunya berdentam-dentam di atas lantai batu. Si penyihir mendekati kuali itu dengan keheranan, tapi langsung mundur ketika melihat seluruh kuali penuh kutil. “Benda menjijikan!” serunya. Pertama-tama ia mencoba melenyapkan kuali itu, lalu berusaha membersihkan kuali itu dengan sihir, dan akhirnya memaksa kuali pergi dari rumahnya. Tapi tak satu pun mantranya berhasil, dan dia pun tak mampu mencegah kuali itu melompta-lompat..mengejarnya keluar dapur, lalu mengikutinya ke kamar tidur, terus melompat dengan berisik di setiap anak tangga kayu.

Semalaman si penyihir tidak bisa tidur karena kuali itu terus-menerus melompat di sebelah ranjangnya. Dan keesokan paginya, saat ia hendak sarapan, kuali itu juga terus melompat-lompat mengejarnya hingga ke meja makan. Klontang, klontang, klontang, begitulah bunyinya. Si penyihir bahkan belum sempat memakan buburnya ketika terdengar ketukan lagi di pintu, seorang laki-laki tua berdiri di depan pintu. “Keledai tuaku, sir.” jelas si laki-laki tua. “Keledaiku hilang, atau dicuri orang. Tanpa keledaiku aku tak bisa membawa barang dagangan ke pasar, dan nanti malam keluargaku pasti akan kelaparan.” “Dan aku sudah kelaparan sekarang!” jelas si penyihir, lalu membanting pintu tepat di depan laki-laki tua itu.
Klontang, klontang, klontang, begitulah bunyi kuali perunggu itu saat melompat-lompat di lantai. Tapi sekarang bunyiya bercampur dengan lenguhan keledai dan erangan manusia yang sakit menahan lapar, semuanya bergema dari dalam kuali. “Jangan melompat-lompat. Diamlah!” pekik si penyihir, tapi seluruh kemampuan sihir yang dia miliki tak mampu membuat kuali itu diam. Kuali itu tetap saja melompat-lompat mengikutinya sepanjang hari, mengeluh dan mengerang dan mengeluarkan suara berisik, tak peduli apa yang dilakukan si penyihir—kemana pun dia pergi.

Sore itu terdengar ketukan ketiga di pintu dan diambang pintu berdiri seorang perempuan muda yang menangis begitu sedih. “Bayiku sakit amat parah,” katanya. “ Maukah kau menolong kami? Ayahmu menyuruhku datang kapanpun aku punya masalah.” Tapi si penyihir itu membanting pintu di depan wajah perempuan itu. Dan sekarang kuali penyiksa itu terisi penuh dengan air asin, menumpahkan air mata ke seluruh lantai. Saat dia melompat, melenguh, mengerang, dan mengeluarkan kutil lebih banyak lagi.

Meskipun sepanjang minggu tak ada lagi penduduk desa yang datang meminta bantuan kepada si penyihir, kuali berkaki terus memberitahukannya tentang berbagai penyakit & kemalangan penduduk desa. Hanya dalam beberapa hari, kuali itu bukan hanya melenguh dan mengerang dan menumpahkan air mata dan melompat-lompat & mengeluarkan kutil, tapi juga terbatuk-batuk & muntah-muntah, menangis seperti bayi, mengaing seperti anjing, menumpahkan keju basi dan susu asam & siput-siput yang kelaparan. Sang penyihir tak bisa tidur atau makan karena kuali itu terus mengikutinya. Tapi kuali berkaki itu tak mau pergi, dan si penyihir tak mampu membuat kuali itu diam atau memaksanya berhenti melompat-lompat.

Akhirnya si penyihir tak tahan lagi. “Bawalah semua masalah, semua kesulitanmu, dan semua keluhanmu!” teriaknya sambil berlari di tengah gelapnya malam, menuju jalan desa, dengan kuali melompat di belakangnya. “Ayo! Biarkan aku menyembuhkanmu, memperbaiki keadaanmu dan menghiburmu! Kuali ayahku ada disini, dan aku akan membuat kalian sembuh!” Dengan kuali yang terus melompat di belakangnya, si penyihir berlari sepenjang jalan, mendaraskan mantra ke setiap arah.

Di dalam satu rumah, kutil-kutil anak perempuan itu lenyap saat ia tidur, keledai yang hilang di-panggil dari lapangan penuh duri dan dikembalikan ke kandangnya. Bayi yang sakit diberi ramuan dittany—salah satu jenis tanaman mint berbunga ungu hingga putih—dan terbangun, sehat kembali, dan pipinya merona merah. Di setiap rumah yang penghuninya sakit dan sedih, sang penyihir berusaha membantu sebaik mungkin, dan perlahan-lahan kuali di sebelahnya berhenti mengerang dan muntah-muntah, serta mulai terdiam, bersih mengkilap. “Bagaimana sekarang, kuali?” Tanya sang penyihir yang gemetar kelelahan ketika matahari mulai terbit.

Kuali itu memuntahkan sepatu sebelah yang dulu dilemparkan sang penyihir ke dalamnya lalu mengizinkan sang penyihir memakaikan sepatu itu ke kaki perunggunya. Bersama-sama, mereka berjalan kembali ke rumah sang penyihir, suara langkah kaki itu teredam. Tetapi sejak hari itu hingga seterusnya, sang penyihir membantu penduduk desa seperti ayahnya dulu. Karena kalau tidak, kuali itu akan melepas sepatunya dan melompat-lompat lagi.

~FIN~


Bagi anda yang sudah pernah menonton Harry Potter 7 part 1 pasti tau tentang buku ini—apalagi yang punya atau pernah baca buku (novel) Harry Potter oleh JK. Rowling. Kalau di filmnya, Hermione yang menceritakan tentang Relikui Kematian (Deathly Hallows) saat bertamu di rumah Luna. Cerita di dalam buku tersebut ada banyak, dan ini adalah salah satu cerita di dalam buku tersebut. Kalau kalian mau tau cerita yang lain, silakan beli bukunya ya.. *hehehe*
Bagaimana perjuangan Harry Potter, Hermione dan Ron melawan Voldemort di seri movie terakhir?  Sayang untuk anda lewatkan, meski film asing kabarnya tidak akan tayang lagi di bioskop.
*mischief managed!*

J.K. Rowling

Tidak ada komentar:

Posting Komentar